January 29, 2011

Padahal Aku (masih) Sayang

ADA nafas yang berlari saat mengejar isak aksara yang kau luahkan bersama serapah yang tercipta. Runut kau bertutur tentang luka dan air mata juga tentang hati yang lelah meragu. Amboi, bengisnya kepedihan menjelma nestapa di lembah sukmamu, dan kini kau bediri dihadapku meminta pisah, ingin lepas dari rengkuh sayap cinta kita.

Kau kembalikan cincin yang kuberi sesaat sebelum janji terucap tujuh tahun lalu. Janji yang katamu kita akan sehidup semati. Baiklah, namun luluskan pintaku untuk terakhir kali. Biarkan kita baku pegang tangan sebentar, sekedar untuk mengendapkan kenang yang menggenang sembari meresapi pedihnya perpisahan.

Terselip harap di benakku semoga sedetik nanti aku dapat melepasmu dengan seutas senyum di wajah pasi.
Padahal subuh senantiasa mendapati kita tengah berbagi hangat setelah lelah melewati malam yang berpeluh. Namun mulai subuh kali ini dan subuh lainnya di hari besok hanya akan ada tubuh ringkihku yang gigil tanpa sesiapa di sisi.
Tahukah? Kepergianmu membawa serta beberapa helai dari lapis jiwaku yang merapuh. Sungguh, telah terbiasa bagiku melihat dalam pandangmu sedemikian hingga kehilanganmu serupa kehilangan separuh penglihatanku. Pun aku buta tanpamu.

Lihat aku sejenak, akulah lelaki yang akan mengenang kisahmu kala fajar luruh di kaki langit sesaat sebelum kabut pagi terhapus habis, lelaki yang berharap dapat melihat senyummu di sebalik angkuh senyum mentari.

Tahukah? ruang yang kau tinggalkan akan selalu kosong tak berpenghuni menanti kau kembali hingga pupus segala harap yang ada serupa pupus cahaya lilin yang memadam setelah habis sumbunya.

Inilah akhir dari kita, padahal aku (masih) sayang.

@sabdabumi

No comments:

Post a Comment