TIGA garis pada indikator signal dan tiga garis pula pada indikator baterai tertera di layar monitor N 9300 milikku saat ini, saat jariku menari menekan tuts penggubah ide menjadi makna. Malam tinggal sepertiga, tubuh ringkihku merebah namun jiwaku membumbung tinggi menerawang langit dalam gelap.
Sesaat jiwaku kembali, ditangannya terselip sepucuk surat untukku. Surat itu tidak bernama, hanya selembar kertas putih tanpa huruf namun syarat pesan. Suatu pesan tentang mati, cinta dan hidup. Lalu mengapa bukan hidup, cinta dan mati? Kenapa dalam pesan itu, mati disebutkan terlebih dahulu? Akh, kuhentikan perdebatan tentang itu hingga mati datang menceritakan kepadaku tentang dirinya. Mati pun berceloteh dengan bahasa yang sama sekali tidak kupahami. Terus mengucap kata hingga aku sadari bahwa aku terlalu hidup untuk memahaminya. Aku terjebak dalam kematian sebagaimana aku dan kamu pahami yaitu berpisahnya raga dengan ruhnya lalu diarak ramai-ramai oleh handai taulan menuju ke tempat penguburan. Bukan, dia bukan mati yang itu. Sang Mati pun menjelaskan, setiap makhluq yang bernapas pasti akan merasakan mati namun tidak semua makhluq yang bernapas didatangi oleh Sang Mati yang ini.
Mendengar penjelasan Sang Mati nalarku spontan memberontak, sejuta pertanyaan dan sanggahan siap kulontarkan namun Sang Mati mulai angkat bicara hingga aku pun terdiam. Sang Mati lalu menyuruhku untuk memperhatikan saudara sepupunya yang bernama Tidur. Tidur kata Sang Mati adalah contoh yang paling dekat untuk mengenali dirinya. Bukankah saat Fulan tidur, bagi Fulan, raganya itu bukan dia, karena Si Fulan tidak ada di situ namun pada saat yang sama Si Fulanah yang melihat Fulan sedang tidur pasti akan menunjuk raga yang sedang tidur itu adalah Fulan. Nah Aku, lanjut Sang Mati, mirip dengan kondisi itu.
Mirip bagaimana? demikian nalarku mempertanyakan mencari jawaban. Sang Mati pun melanjutkan celotehnya dan dari penjelasannya aku ketahui bahwa maksud Sang Mati ialah suatu kondisi dimana seorang hamba saat beraktifitas apa saja benar-benar menyadari sepenuhnya bahwa ia digerakkan oleh Sang Maha Penggerak hingga dalam hal keadaan ini Si Fulan hanya menjadi saksi apa yang dilakukan oleh setiap anggota badannya. Itulah aku kata Sang Mati.
Akh, nalarku masih belum mau menerimanya. Konsep apa lagi ini kata nalarku. Tidak masuk akal bila aku terpisah dari ragaku. Sang Mati tersenyum melihat kebebalanku. Ia memberikan aku sebilah pisau. "Irislah tanganmu dengan pisau itu," perintah Sang Mati kepadaku. Aku pun melakukan perintahnya. "Tidurlah, tidurlah sebagaimana layaknya manusia tidur," kata Sang Mati. Aku menurut. Entah berapa lama aku tertidur, Sang Mati membangunkanku, lalu bertanya padaku apakah aku merasakan sakit pada luka irisan pisau itu saat aku tidur, kujawab tidak, aku hanya merasakan sakit pada saat aku sadar. Kuperhatikan tanganku, di sana luka itu masih menganga seperti sebelum aku tidur. Aku tersentak oleh kenyataan, jika luka itu tetap menganga dan jika raga bersatu dengan diriku lalu mengapa aku tidak merasakan sakit saat aku tidur? Siapa sebenarnya yang sakit, ragaku yang terluka atau diriku? Aku pun teringat pada penjelasan Sang Mati tentang tidur di awal catatan ini. Aku ada namun hakikatnya tidak ada sampai aku sadar bahwa aku diciptakan hanya untuk menyaksikan kehendakNya tegak di muka bumi ini. Tergugu aku disengat sadar, lamat kudengar suara berkata, di bumi itu engkau hidup, di bumi itu engkau mati dan di bumi itu pula engkau dibangkitkan.
Maka ni'mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
@sabdabumi
No comments:
Post a Comment