Mega jingga bergelayut manja di sudut barat langit senjaku, menyambut rembulan yang tengah bersolek 'tuk tampakkan dirinya. Sayup terdengar lantunan ayat suci dari ujung gedung berkubah megah. Bisikannya perlahan mencabik lamunanku sore itu. Akh, terhempas aku ke dunia nyata. Dunia yang semakin memaksaku 'tuk tunduk.
Aku masih belum beranjak dari batang nyiur tua yang tengah terbaring di pinggir pantai bisu, tempatku meratapi kemarin dalam sepi. Coba kembali berkunjung ke mihrab diri yang semakin gelap dan memekat. Bintang redup baru saja muncul entah dari mana berasal. Kutanya bintang, kemanakah kau siang tadi? Bintang tak menjawab. Mungkin ia tengah sibuk menertawai kebodohanku. Karena tanpa ku sadari dia tidak kemana-mana. Dia tetap ada namun aku tidak bisa melihatnya. Lalu rembulan muncul, kutanyakan pertanyaan yang sama. Kemudian tersentak aku menyadari mentari telah padam. "Kemanakah kau matahari?." Teriakku lantang hendak menembus langit. Lagi-lagi kebodohan menertawakanku.
Sesungguhnya dalam pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. Begitu kata ulama mengutip ayat suci Al-Qur'an yang pernah kudengar. Tertegun aku, berpikir tentang siang dan malam. Terasa sesuatu memeras otakku. Tiba-tiba kusadari aku ada. Aku ada bersama batang nyiur tua yang terbaring ini. Aku ada bersama pantai dan riak ombak yang menjilati kakiku. Kakiku? benarkah ini kakiku? benarkah kaki ini milikku seutuhnya? Tapi mengapa sewaktu aku tidur aku tidak punya kendali apa-apa terhadap kaki ini. Bahkan sewaktu aku tidur orang-orang memandang jasadku lalu menujuk itu aku, namun sayang aku sendiri tidak hadir di situ. Akal sontak menghardikku, "Aku bukan produk pikir di otakmu." Katanya dengan nada gusar.
Lalu dimanakah aku. Siapakah dia yang setiap pagi kulihat di depan cermin? Itukah aku? Jika itu aku, lalu mengapa saat jasadku terluka tidak kurasakan sakitnya dalam tidurku? Siapa sebenarnya yang sakit aku atau jasadku? Lalu siapakah aku? Orang bilang aku hanyalah hamba. Setahuku hamba selalu melaksanakan perintah tuannya. Lalu kenapa aku selalu melawan? Tidak, aku bukan hamba.
Saat senja tinggal separuh, aku bersimpuh belajar pada pasir di pantai ini. Belajar tentang sejatinya hamba. Sesaat kudengar bisik angin membawa kabar, "belumkah tiba saatmu untuk tunduk dan patuh?"
Aku masih belum beranjak dari batang nyiur tua yang tengah terbaring di pinggir pantai bisu, tempatku meratapi kemarin dalam sepi. Coba kembali berkunjung ke mihrab diri yang semakin gelap dan memekat. Bintang redup baru saja muncul entah dari mana berasal. Kutanya bintang, kemanakah kau siang tadi? Bintang tak menjawab. Mungkin ia tengah sibuk menertawai kebodohanku. Karena tanpa ku sadari dia tidak kemana-mana. Dia tetap ada namun aku tidak bisa melihatnya. Lalu rembulan muncul, kutanyakan pertanyaan yang sama. Kemudian tersentak aku menyadari mentari telah padam. "Kemanakah kau matahari?." Teriakku lantang hendak menembus langit. Lagi-lagi kebodohan menertawakanku.
Sesungguhnya dalam pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. Begitu kata ulama mengutip ayat suci Al-Qur'an yang pernah kudengar. Tertegun aku, berpikir tentang siang dan malam. Terasa sesuatu memeras otakku. Tiba-tiba kusadari aku ada. Aku ada bersama batang nyiur tua yang terbaring ini. Aku ada bersama pantai dan riak ombak yang menjilati kakiku. Kakiku? benarkah ini kakiku? benarkah kaki ini milikku seutuhnya? Tapi mengapa sewaktu aku tidur aku tidak punya kendali apa-apa terhadap kaki ini. Bahkan sewaktu aku tidur orang-orang memandang jasadku lalu menujuk itu aku, namun sayang aku sendiri tidak hadir di situ. Akal sontak menghardikku, "Aku bukan produk pikir di otakmu." Katanya dengan nada gusar.
Lalu dimanakah aku. Siapakah dia yang setiap pagi kulihat di depan cermin? Itukah aku? Jika itu aku, lalu mengapa saat jasadku terluka tidak kurasakan sakitnya dalam tidurku? Siapa sebenarnya yang sakit aku atau jasadku? Lalu siapakah aku? Orang bilang aku hanyalah hamba. Setahuku hamba selalu melaksanakan perintah tuannya. Lalu kenapa aku selalu melawan? Tidak, aku bukan hamba.
Saat senja tinggal separuh, aku bersimpuh belajar pada pasir di pantai ini. Belajar tentang sejatinya hamba. Sesaat kudengar bisik angin membawa kabar, "belumkah tiba saatmu untuk tunduk dan patuh?"
No comments:
Post a Comment