KOTEK - kodok dan tokek - begitu mereka menyebut namanya, sebagai nama kesayangan, menjadi sebutan manja saat hendak menyebut 'kita'. Kotek - sepasang kekasih yang berbeda jenis, dengan kisah cinta yang berliku, absurd dan ambigu.
Hingga tiba suatu masa saat senja masih muda. Kodok termenung menatap mendung yang sejak tadi bergelayut di kaki langit utara, sembari menyambut rintik hujan yang jatuh satu-satu. Rintik yang menitik, rintik yang selalu dapat mencipta syahdu di genang rasa, rintik yang mampu membuat hati dua makhluq yang saling mencinta menjadi merah, memerah muda; termasuk bagi Kotek - Kodok dan Tokek.
"Dear, ke empang yuk. aku kangen," bisik Kodok manja kepada Tokek kekasihnya di sela gerimis senja itu. "Sebentar ya sayang, kamu duluan deh. Aku sedang menyelesaikan sesuatu nih," jawab Tokek tak kalah manja.
Dengan sedikit kesal, Kodok pun menurut, terpaksa rela menjadi penunggu empang. Dalam sepi saat sendiri ia pun bernyanyi mengisi masa, nyanyikan lagu milik Iwan Fals yang sempat terkenal sejak lama bahkan sebelum si Kodok lahir. "Kumenanti seorang kekasih, yang tercantik yang datang di senja ini..," lantang suaranya mengungkapkan rasa melalui lagu.
Telah lewat beberapa lagu, Tokek belum juga datang. Kodok terlihat resah, bilakah kekasih tepati janji. Duhai betapa Kodok gelisah, nama kekasih lekat di lisan basah, lalu lantang teriak tiga kali, "Tokek Tokek Tokek I love you." Pun seisi empang tersenyum padanya.
"Hmm.. andai aku punya sayap, bisa sekalian ngecengin Tokek lain di empang sebelah," nakal Kodok mulai berandai mengusir bosan yang mulai membayang. "Eh, mikir apa kamu. Ingat, kamu harus setia! Kalau gak, kukutuk kau jadi kecebong. Mau?" hardik Cupid dalam benaknya, Kodok pun buru-buru membenahi otak dan pikirannya itu, lalu dengan senyum ia kembali bernyanyi, nyanyikan lagu tentang janji setia pada kekasih.
Lalu nampak seekor Kenari terbang memutar di atas kepala sang Kodok.
"Hai, ganteng gi apa? Nyanyi aja kamu di empang. Suara kamu menggetarkan sayapku beib. Godain kita dong," panggil Kenari centil. Aih.. jiwa petualangnya tertantang. Tapi Kodok lupa diri, sang selingkuhan malah tersantap habis. Ahai, si Kodok kembali tergugu menunggu cinta, sambil belajar mengeja beda; mana santapan mana kekasih.
Tanpa disadari rupanya diam-diam Tokek telah ada di pinggir empang, perhatikan polah nakal sang Kodok.
"Sudah kenyang kamu?" ketus Tokek berbalik punggung saat Kodok menyambut. "Emm.. kenyang gimana sayang?" tanya Kodok sembunyikan panik kedapatan kekasihnya yang datang tiba-tiba itu. "Ah, kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu. Huh! dasar lelaki," tukas Tokek ketus. "Jangan ngambek gitu dong. Itu tidak seperti yang terlihat," kata Kodok setelah memahami keadaan sambil buru-buru membersihkan bulu Kenari yang tersangkut di sudut bibirnya.
Tokek berang, menghitam luriknya serupa jamur merang. "Akh! jangan banyak alesan kamu. Bosen aku dengernya. Kamu sayang aku gak sih?" teriaknya menghambur kesal.
"Sayang? Lebih dari sayang. Aku cinta! Gak percaya? belah dadaku," kata Kodok melempar rayu. "Ich.. kau pikir aku anak sekolahan yang lagi praktek biologi di lab? Ogah! Lagian akukan model bukan dokter," ketus Tokek menghambur gerah.
"Sayang, kamu tahu gak sih. Bagiku, kamu itu serupa tongkat Musa yang dapat menjinakkan keliaran aku. Aku nakal, Tung! sontak aku kepentung cintamu. Duh, aku langsung jadi kalem. Kerna kamu sayang, tempat labuh terakhirku," rayu Kodok semakin gencar. "Ah, gombal kamu. Emangnya aku satpam mall puri indah apa? Kemana-mana bawa pentungan. Jahat ich!" sambut Tokek yang mulai mencair sambil mencubit genit perut kekasihnya itu lalu kembali berbalik punggung.
Kodok terkekeh, lalu perlahan mendekap punggung Tokek. "Dear, jangan punggungin aku dong. Aku kangen nih. Pungung kamu memang indah sayang, tapi wajahmu lebih indah lagi. Balik lalu senyum ya dear. Biar bunga Mangrove di empang kita jadi malu kerna kalah cantik ma kamu. Balik gih, ada sesuatu untukmu," rayu Kodok tak kenal menyerah.
"Tapi janji dulu gak bakal nakal lagi!" ketus Tokek. "Osh Master.." jawab Kodok menggoda. "Ayo, balik dulu," lanjut Kodok sedikit memaksa.
"Gak mau. Bilang dulu ke aku, mau dikasih apa?," tanya Tokek jual mahal. "Pokoknya ada deh, sesuatu yang manis untuk kamu manis," jawab Kodok sengit. "Okeh okeh, aku balik. Tapi awas yiia, jangan jorokin aku ke empang. Aku baru aja rebonding kemarin. Ntar rambutku rusak," rajuk Tokek manja, pun Kodok tersenyum penuh makna.
"Kemarin aku menghilang tanpa pamit padamu kan. Aku ke hutan dear, ambilkan kamu sesuatu. Kuharap dapat mewakilkan betapa cinta aku padamu," kata Kodok mesra setelah Tokek menghadapkan wajah padanya sambil menyembunyikan sesuatu di sebalik punggungnya.
"Apa itu dear?" tanya Tokek sambil mencari tahu apa itu di sebalik punggung kekasihnya.
"Ini sayang. Lambang cintaku, kupetik sendiri dari belantara yang jalannya mendaki liku itu," kata Kodok dengan takzim sambil menyodorkan seikat anggrek hutan pada Tokek.
Aih, Tokek menahan haru. Lalu menghambur dalam dekap kekasihnya. "Thank's dear, kamu buat aku bahagia hari ini," bisiknya lembut.
Kodok pun ikut terharu di sela girang hatinya setelah berhasil memenangkan kembali hati belahan jiwanya itu. Namun tiba-tiba Tokek menghambur tangis di dadanya.
"Ada apa sayang? Katakan padaku apa yang mengganggumu," tanya Kodok sedikit bingung.
"Kau tahu? Tadi aku dipanggil orang tuaku dan mereka menentang hubungan kita. Mereka bilang kita berbeda," isak Tokek dalam tangis.
Mentari mulai redup. Temaram meremang dalam gerimis. Kembali Kodok mencoba yakinkan kekasihnya.
"Sayang, mereka bilang cinta datang tidak memandang perbedaan, begitu pula adanya dengan kisah kasih kita," bisiknya lembut. Lalu dengan senyum pasti, ia berkata, "Sungguh sayang, jangan dengar mereka yang iri melihat kemesraan kita. I love you dear." "Apakah itu tidak cukup?" lanjut Kodok menegaskan.
Tokek hanya terdiam, pandangnya menerawang menatap kosong kepada entah, sembari menggegam erat anggrek hutan yang kini menjadi perlambang cinta mereka. Ia tak kuasa berkata, hanya mampu mendekap dan membiarkan Kodok kekasihnya membasuh ragu yang menyelimutinya itu dengan cinta mereka yang katanya abadi.
Ah, cinta. Hendak kau bawa kemana kisah mereka. Namun gerimis di empang cinta menjadi saksi betapa cinta begitu dalam, begitu syahdu, begitu mendayu, hingga entah bilakah berakhir. Empang, I'm in love.
@puteri hujan & sabdabumi
No comments:
Post a Comment