MASIH terdengar senandungmu di pelepah rindu yang meranggas, bahkan bisiknya membasuh rasa, serupa tetes air yang tengah menitisi telaga. Getarnya penuhi ruang, paksa waktu berhenti berlari. Pun aku, lelaki penghuni kerangkeng rindu, yang dijaga tujuh lapis pengawal bengis keterpisahan, senantiasa merajut asa berharap jadi temali bila nanti bulan datang lagi dapat menjadi tangga ke langit tempatmu menunggu.
Pun kurindu kesahmu saat mencoba mendaki langit, serapah manja memaki masa. Bukan cengeng bukan pula rapuh, sekedar menghela penat di dada. Ada pesan yang jelas terbaca di garis tangismu, bahwa hidup tidak pernah berhenti berlari, bahwa diam tidak pernah berarti mati, bawa aku hanyut dalam kenang tentangmu.
Tahukah kau sayang, selalu ada tempat di penghujung nafas saat huru hara melanda nalar menerjang habis tembok logika pun kala akal terguling dari tahtanya saat penglihatan tercerabut dari dua mata. Sungguh, selalu ada tempat di penghujung nafas, di mihrab suci sang pecinta menyebut nama kekasih hingga lupa panasnya lautan api atau manisnya aliran sungai madu, hanya berharap dapat bersanding saat utusan datang menjemput.
Namun bila dua wajah tidak mampu lagi berbagi pada satu ruang yang sama pengap, maka waktu menjadi asing di pelataran masa.
: bisu.
@sabdabumi
*gambar : http://mozadivana.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment