
Betapa senyummu menawan ringkih angkuh egoku, menyesatkan lalu mengurung sukma di dalam labirin kasihmu. Kau merengkuh setiap inchi resahku ke dalam dekap sayapmu yang membekap seluruhku. Kepada langit kuteriakkan kesah rindu di dalam isak do'a yang mendedah setiap dinding sunyi selapis demi selapis. Tahukah? akulah lelaki di ruang gelapmu yang mengais pekatnya sepi saat gegurat perih membekas di dinding penjara rindu. Tahukah? kau bidadari di dalam gelapku yang ingin aku selami walau aku tahu, aku bukan Gabriel yang dapat mengusai jiwamu lalu menyebutnya milikku, bahkan kaulah sayang yang memilikiku.
Bilakah kau tahu sayang, bagaimana aku melewati malam-malam tanpamu, saat dinding sepi menghimpit relung rapuh sukmaku, saat bayangmu menari mencumbui kesepianku yang menjelma dari sebentuk ruang kosong yang kau tinggalkan, saat rembulan memainkan noctrune pedihnya yang berharmoni dengan serenade perihku, dan saat serak hasrat yang kau tanamkan di dasar fikir tempat akalku berpijak sengaja kau goyahkan dengan pesonamu. Maka kini, dengarlah sumpahku; demi sinar bulan yang menggantung di pangkuan awan saat langit merinai hujan di malam hari, sampai mati kau kurindu.
Kaukah itu di balik gelap? mengendap serupa bayang, dalam diam dalam senyap. Bahkan aku, mencoba tak berpaling, mencoba tak bergeming; padahal aku rindu.
Hujan rintik terus menitik senja ini sendu, sendu sekali. Mata lentik wajah cantik hati ini rindu sekali; tanpamu Schatzi; sepi, sepi sekali.Ketahuilah sayang selalu dapat kupandangi semesta melalui jendela kecil di matamu, saat larut dalam lamun tentangmu pun saat hanyut ke puncak tertinggi di pucuk pucuk senggama rindu yang terselip di helaian sepi kala jubah malam pupus hitamnya.
Duhai kekasih kini kupanggil namamu sebisa bisa berharap kau sudi singgah sebentar mengusir dahaga jiwa yang menggurat semakin dalam, seperti jejak air di pelataran bumi kala menitisi bebatuan cadas yang runcing ujungnya hingga hadirmu dapat mengikis habis derita ini lalu menyatu kita dalam senggama rindu hingga pagi datang kembali.
Tahukah? telah kau bingkai aku di dalam setiap helai sukmamu, bahkan telah kau kemas aku di dalam setiap hela nafasmu. Kini di atas lutut aku bepijak memohon padamu bilakah ada rasa yang sama, yang membuncah pecah di dada namun mata segan beradu pandang, namun lidah kelu sepi suara hingga resah pekat membayang. Bilakah sayang? Maka, katakan saja pada gegurat di dinding batu lewat desah saat embun menitisi tanah serupa patri di telapak prasasti, katakan saja pada gegunung di lapak semeru dengan kesah saat angin mendaki kawah seperti gerisik di dedaun jati, katakan saja; pun aku, 'kan temukan jejaknya.
Namun bila ada enggan maka ajari aku hingga dapat mengagumi punggungmu agar bisa terbiasa melepasmu pergi. Duhai kasih dengarlah jeritan hati ini yang kuteriakkan bersama puisi tentangmu, tentang rindu yang serupa cahaya di atas cahaya. Ketahuilah sayang, akulah samudera yang akan kau keringkan, akulah gegunung yang akan kau ratakan. Kecuali kasihmu, maka tujuh lapis jeruji besi kerangkeng jasad ringkih bukan penjara ruhku. Aku, terbang bebas melukis langit dengan harap yang tak kunjung redup. Lalu, api rinduku, dengan apa ingin kau padamkan?
Kerna kau Schatzi, ratu di kerajaan gelapku.
@sabdabumi
No comments:
Post a Comment