BILA langit enggan tersenyum maka malamku pasi, gelapnya memekat sepekat ruang yang tercipta saat gegurat salah tertoreh begitu dalam pada dinding sejarah kasih aku dan kamu. Tahukah? Kini ribu alasan bermain di benakku, juta dusta menggoda hendak menutup segala dosa yang tercipta; tapi hati tidak ingin berdusta. Ini aku, lelakimu yang tanpa sengaja menyakiti, bersimpuh dihadapmu meminta hatimu yang baru saja kau ambil kembali.
Jika kau ingin aku menghiba, katakan. Bila kau ingin aku memohon, bicaralah. Tapi kau memilih diam. Bahkan air mata tak sudi kau teteskan dihadapku; hanya genang kaca di sana, pun coba kau tutupi. Maki aku, tumpahkan serapahmu; luahkan saja biar meluap. Jangan diam sayang. Ambil belati, tikam aku di dada kiri bukan dengan bungkam, tidak dengan senyap. Sungguh, aku tak kuasa.
"Aku telah memaafkanmu," katamu tanpa ekspresi. Tidak cukup sayang! Sungguh, resahku tenggelam dalam genang salah yang menggenapi seluruhku. Bicaralah sayang, ungkapkan marahmu, biar tandas segenap gelisah. Kuminta api di dadamu itu, biar aku terbakar dalam kata yang tercurah, bukan hanya dengan tatapmu.
Schatzi..
Sungguh aku tak kuasa. Maafkan aku.
@sabdabumi
Jika kau ingin aku menghiba, katakan. Bila kau ingin aku memohon, bicaralah. Tapi kau memilih diam. Bahkan air mata tak sudi kau teteskan dihadapku; hanya genang kaca di sana, pun coba kau tutupi. Maki aku, tumpahkan serapahmu; luahkan saja biar meluap. Jangan diam sayang. Ambil belati, tikam aku di dada kiri bukan dengan bungkam, tidak dengan senyap. Sungguh, aku tak kuasa.
"Aku telah memaafkanmu," katamu tanpa ekspresi. Tidak cukup sayang! Sungguh, resahku tenggelam dalam genang salah yang menggenapi seluruhku. Bicaralah sayang, ungkapkan marahmu, biar tandas segenap gelisah. Kuminta api di dadamu itu, biar aku terbakar dalam kata yang tercurah, bukan hanya dengan tatapmu.
Schatzi..
Sungguh aku tak kuasa. Maafkan aku.
@sabdabumi
No comments:
Post a Comment