HUJAN menahanku di sini. Kertas kerja bersampul merah menumpuk di atas meja, sedang senyummu menari di pelupuk mata. Ya, hujan selalu mampu petakan sosokmu pada rinainya yang menjelma tirai dari kaca jendela. Ribu kenang tentangmu menjelma jelaga di hati.
Pun senja menjelang. Pada luruh mentari di ufuk barat negeri, rapuh jiwa melayuh di genang duka. Nyala yang dulu membara kini redup menjadi abu. Lepuh bersama biduk yang karam. Biduk yang pernah kau dan aku namakan: kita.
Tapi senja hampir usai, para pekerja berangsur pulang. Tidak untukku. Berulang kucari hingga ke relung hati. Berharap menemu alasan yang bukan tentangmu. Walau kutahu, itu tak mungkin.
Kemana aku pulang? jika kau lautku sedang aku sungai yang hendak bermuara
Kemana aku pulang? jika kau rumahku sedang kau pergi tak mungkin kembali.
Dulu pernah ada satu bintang. Seperti kejora bagi pelaut. Penunjuk arah bagi yang sesat. Kini pendar cahayanya tak terlihat lagi. Langit gelap menggelung hitam. Menghimpit sendiriku tanpa kau di sisi. Bintang itu kamu, sedang aku pelaut yang tersesat.
Sayang, malam ini perlihatkan padaku di langit mana tempatmu berdiam.
Tunggu aku di pintu surgamu.
Tolitoli, Maret 2011
No comments:
Post a Comment