Bidadari Penafsir Hujan, pada dzikirmu kau tasbihkan namaku sebagai huruf yang tertatah rapi di garis senyum awan. untukmu, kulagukan puisi mistis bersama ritmis gerimis. demikian rindu, demikian syahdu. mengalun manis di bening dua jiwa kita yang enggan terpisah: satu dalam keheningan.
pucuk-pucuk ilalang melambai, sapa langit, biru. baris awan mengirim hujan. dalam hening. dalam sepi, yang sunyi di sela degup hari. membasah, resap di nadi. jadi darah, aliri segenap raga. yaitu detak pagi yang gelisah sedang gerimis mengurai detiknya. daun-daun gugur, tanah menyambutnya. hujan jatuh satu-satu, sebagai rindu yang menitik, tiris dari dahan tinggi.
kau yang menafsirkan hujan sebagai puisi. sedang langit mahfum, lalu menyebutmu penterjemah gerimis. rintik sajak-sajak hujan menitis dari gemulai jemarimu, menjadi gurat di batu, menjadi kisah rindu yang hampir saja usai. jadi hening. dalam diam. bibir-bibir terkatup. lisan tak mampu lagi mengucap. bungkam. tak ada lagi kalam. syair hilang kata. tersisa aksara tanpa tanda baca. kalimat-kalimat hampa yang pudar diusap basah. gubah bait rindu jadi kumpulan kata tanpa kapital di awalnya. tanpa titik di akhirnya.
ya. hujan adalah sajak di pepucuk jemarimu, namun puisi sudah mati. ada jejak-jejak kata berserak di tepinya. lalu bintang datang sebagai pengingat. membawa berita gembira. mengusir resah. menghardik gelisah di lipatan jiwa. bahwa kata adalah abadi, sedang hujan tak pernah ingkar janji. menghadiahimu pelangi, sebagai untaian sepi, dalam kegelapan di wajah semesta: kegelapan yang bercahaya.
"bahwa hujan akan selalu memberi damai saat kemarau melanda jiwa.." lirih bisikmu mengucap janji.
2011
Bait Rindu Lelaki Sepi
ZAIN AL AHMAD
No comments:
Post a Comment