March 18, 2009

Indahnya Dikhianati

Hari ketiga di sahara tandus. Pengembara muda itu berjalan menyeret langkahnya lunglai. terus melangkah ke arah matahari terbit tempat ia menggantungkan harapannya. Sudah tiga hari ia berjalan tanpa henti, walau lelah namun nyala api semangat di dadanya membara menantang sengatnya mentari, toh bekalnya masih cukup untuk tujuh hari lagi.

Hari kelima di sahara yang tandus, mentari masih terbelalak menatap garang langkah pengembara. seperti kemarin ia masih terus berjalan namun kini semakin gontai. Sejenak ia sandarkan lelahnya di bawah pokok tua yang mulai melapuh seperti kulitnya yang semakin lapuh dipanggang sang surya. "Perjalanan sebentar lagi," bisiknya menaruh harapan. Terbersit keraguan dalam hatinya saat melihat persediaan air yang terbuat dari kulit miliknya tinggal dua kantung lagi. "Ah, tenang saja pasti cukup sampai di sana" ujarnya bergumam kuatkan hati.

Sejurus kemudian, ia bangkit bersiap lanjutkan perjalanan. Matanya nanar menatap jauh ke depan berharap ada oase di ujung sana. Dan benar, jauh di sebelah utara kaki langit mata lelahnya melihat hamparan air dikelilingi hijaunya pepohonan. Duhai bahagianya sang pengembara, terbayang ia dapat melepas semua lelahnya di oase itu, bersihkan diri dan mungkin dapat berdiam paling tidak dua atau tiga malam sampai tenaganya pulih kembali.

Hari ke enam di sahara yang tandus. langkah pengembara terkayuh mantap langsung tertuju pada oase. Walau berbeda arah dari tujuannya semula menjadi tidak penting baginya, dibutakan oleh berjuta impian yang terbayang dipelupuk mata tentang indahnya masa saat nikmati kesejukan yang menunggunya.

Gerah jiwanya bercampur baur dengan penatnya lelah sementara mentari tak pernah mau tersenyum padanya, pun dahaga menghampiri. Coba bertahan namun kering kerongkongannya seperti keringnya sahara yang menelannya habis. Perlahan ia angkat kendi air terakhir, setetes demi setetes dengan hati-hati ia mengusir dahaga. Kehati-hatian yang sama seperti enam kantung air sebelumnya yang telah menyambung hidupnya di padang itu. "Bukankah oase sudah di depan mata?" katanya pada bayangannya. "Lalu untuk apa aku menyiksa diri dengan mengirit air seperti ini?" ujarnya datar. Lalu tanpa pikir panjang lagi ia sirami tubuh keringnya sampai tetes terakhir dan berteriak lantang, "Oase, aku datang!". Ia berlari dengan seluruh tenaga yang tersisa, seperti anak kecil yang bertemu ibunya setelah sekian tahun terpisah, berlari menuju surga impiannya.

Hari ke tujuh di sahara yang tandus. Pengembara masih berlari namun oase tetap jauh di kaki langit sementara mata lelahnya melihat mentari terbit jauh dari arah tempatnya berdiri. Tubuhnya limbung, akhirnya jatuh dihempas lelah. Namun tersungging senyum di bibirnya... Sambil berbinar ia berkata, "mataku... mataku... khianati keserakahanku. Terimakasih mataku karenamu aku tahu bahwa aku hamba yang serakah." Ia lalu bangkit kemudian mengangkat ke dua tangannya hingga menyentuh langit, dan berdo'a, "Ya Allah inilah aku hambamu yang serakah dan telah menzalimi diri sendiri. Mohon ampuni hamba ini." Sepotong do'a itu ia ucapkan dengan penuh ketulusan dan kesadaran yang sarat bahwa ia adalah hamba yang serakah. Lalu ia berkata, "terimakasih mataku, karena pengkhianatanmu aku menjadi lebih dekat dengan Tuhanku," lalu ia kembali terbaring.

Hari ke tujuh di sahara yang tandus, pengembara masih terbaring namun senyum di wajahnya membuat iri pengembara lain yang melintas. Senyum itu mengingatkan mereka tentang nikmatnya akhir seorang hamba yang bersyukur.

No comments:

Post a Comment