SEWINDU waktu berjalan menuju telaga sepi bawa lari serpih perih menjauh dari keramaian tanpa teman di sisi. Kembara sunyi yang meruah biru dalam kelam jingga temaram susuri setapak rapuh berduri. Ada angin yang membawa cerita sedih, ada dedaunan yang senandungkan sebuah nama dalam kisah asing yang tak pernah kuketahui sebelumnya dan ada pula sepotong senja berwarna merah pudar yang di dua sisinya pun terpatri sebuah nama.
Sesampai aku di telaga itu rebahkan lelah di atas batu yang mulai berlumut permukaannya dan sejenak kulamunkan nama yang kutemui di perjalanan. Siapakah pemilik nama itu? Siapakah yang menulisnya? namun jawaban bukan untukku. Hanya satu yang terjawab pasti, penyebabnya adalah rindu. Aih, menggigil aku melihat sekeliling saat menyadari hening telaga tempatku singgah ternyata tercipta dari genangan air mata, pun di dasarnya terbaca sebuah nama. Ya, nama yang sama, seperti di angin, dedaunan dan puing senja. Tergambar jelas di benakku keagungan rindu yang tertanam di dalam hati sang pembuat telaga sepi nan hening ini.
Lalu kutemukan damai dalam hikmah yang membuncah di pucuk pucuk muda petuah bijak para tetua tentang nilai sebuah batu yang selalu terhubung dengan seberapa keras batu itu ditempa entah untuk diberi bentuk atau untuk dibuat berkilau. Ah, batu hati yang ditempa rindu, rindu yang tidak biasa, rindu biru yang menyayat robek dan meremuk sekaligus melambungkan nilainya hingga tak berhingga lalu berkilauan di dinding jiwa.
Sesampai aku di telaga itu rebahkan lelah di atas batu yang mulai berlumut permukaannya dan sejenak kulamunkan nama yang kutemui di perjalanan. Siapakah pemilik nama itu? Siapakah yang menulisnya? namun jawaban bukan untukku. Hanya satu yang terjawab pasti, penyebabnya adalah rindu. Aih, menggigil aku melihat sekeliling saat menyadari hening telaga tempatku singgah ternyata tercipta dari genangan air mata, pun di dasarnya terbaca sebuah nama. Ya, nama yang sama, seperti di angin, dedaunan dan puing senja. Tergambar jelas di benakku keagungan rindu yang tertanam di dalam hati sang pembuat telaga sepi nan hening ini.
Lalu kutemukan damai dalam hikmah yang membuncah di pucuk pucuk muda petuah bijak para tetua tentang nilai sebuah batu yang selalu terhubung dengan seberapa keras batu itu ditempa entah untuk diberi bentuk atau untuk dibuat berkilau. Ah, batu hati yang ditempa rindu, rindu yang tidak biasa, rindu biru yang menyayat robek dan meremuk sekaligus melambungkan nilainya hingga tak berhingga lalu berkilauan di dinding jiwa.
Bersabarlah dengan sabar yang indah lagi kokoh duhai kau pemilik telaga sepi, jiwamu kini begitu agung sarat berkah nirwana.
Bila saatnya tiba dan pasti akan tiba, kala cinta menyapa sendu di hatimu lalu membuatnya halus melembut berlapis sutra kasih abadi. Usah ragu, saling berkasihsayanglah kalian dalam cinta seperti udara yang selalu ada kapan pun kau butuh, laksana rinai yang membasahi diminta atau tidak diminta hingga sayang bermerah muda senantiasa dalam setiap hela nafasmu, sungguh bukan sekedar ritual semu penyembahan ego yang penuh keangkuhan dan dusta kemunafikan.
@sabdabumi
Februari 2010
*gambar : http://ilham-uyaisha.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment