Sepah mentari temaram menelisik kisi jelaga jiwa hendak mencari asa yang bersemayam di dada kiri. Namun asa itu telah lama musnah seiring waktu yang tidak pernah lelah menggilas rasa. Dulu pernah ada rindu. Rindu yang selalu membara nyala terangi ruang pengap keterpisahan, mengisi hampa hati hingga ke sumsum tulang nadi darah.
Lalu rindu itu merasuk ke empedu dan pecah berserak cemar darah di nadi kiri pun sendi-sendi belulang lunglai layu karenanya. Aih, mungkin hadirmu di kanan kiri buatku tegak serupa tiang raja di rumah mungil kita dan mungkin aku pun dapat kembali berjalan jika kau papah walau dengan langkah terseok tertatih.
Dan kau, sontak ulurkan jemari dengan senyum yang menyabit tawarkan punggungmu panggil bangkit tegakku agar dapat berjalan lagi. Namun, dengan apa kau papah aku? Tulang belulang yang rapuh tak serapuh semangatku mati. Sepotong asa tempatmu bertahta kemarin, kini telah mengembun lalu hilang disengat mentari. Aku padam sebelum bisa bersinar kembali : maaf.
Tolitoli, Juli 2010
Lalu rindu itu merasuk ke empedu dan pecah berserak cemar darah di nadi kiri pun sendi-sendi belulang lunglai layu karenanya. Aih, mungkin hadirmu di kanan kiri buatku tegak serupa tiang raja di rumah mungil kita dan mungkin aku pun dapat kembali berjalan jika kau papah walau dengan langkah terseok tertatih.
Dan kau, sontak ulurkan jemari dengan senyum yang menyabit tawarkan punggungmu panggil bangkit tegakku agar dapat berjalan lagi. Namun, dengan apa kau papah aku? Tulang belulang yang rapuh tak serapuh semangatku mati. Sepotong asa tempatmu bertahta kemarin, kini telah mengembun lalu hilang disengat mentari. Aku padam sebelum bisa bersinar kembali : maaf.
Tolitoli, Juli 2010
No comments:
Post a Comment