January 12, 2011

Lagi, Cintaku Luluh di Malioboro

SENJA jatuh setelah hujan mengguyur Jogyakarta sejak siang tadi. Air menggenang di aspal Malioboro saat kita terpaku diantara lapak-lapak kaki lima yang masih lenggang sepi pengunjung. Nampak wajahmu begitu sendu tertunduk lesu tanpa senyum. "Tolonglah Lluvhia, jangan kau desak aku untuk mengakui apa yg tidak aku lakukan," sergahku pecahkan sunyi. Kau tak bergeming, hanya jemarimu yang terihat sibuk bermain. "Jangan kamu hamburkan ribu aksara itu, semua sudah gak ada makna lagi. Kamu bohong, aku sedih kamu jadi seperti ini. Aku kangen kamu yang dulu," lirih suaramu tergetar akhirnya buka bicara namun wajahmu tetap kau sembunyikan dari tatapku.

Lelampu jalan mulai menyala namun aku belum juga dapat meyakinkan hatimu yang mulai beku kerna kebodohanku. Lesehan Malioboro mulai menggeliat namun sendu di galaumu masih juga kau simpan rapat di kisi hati yang berusaha menghindariku. "Lihat aku," pintaku sambil mengangkat dagumu lembut dengan ujung jari. "Ini masih aku, punya kamu. Aku yang dulu. Seinci pun aku tidak berubah. Ya, mungkin ada kesalahan-kesalahan kecil di sana sini. Tapi ini tetap aku." kataku coba tenangkan gundahmu. "Plak! perih terasa di pipi. Tak kuduga kau akan semarah ini. "Sudah kuberikan segala apa yang kupunya. Apa itu belum cukup?" hardikmu meradang pun air mata menderai di wajahmu. Kuusap leleh hangat di pipimu itu dengan telapak tanganku pun trenyuh kurasa. "Aku memang layak terima ini. Aku salah. Tapi tolong, jangan ragukan kesungguhanku untuk berubah," ucapku berusaha bawa kau dalam dekapan namun kau meronta berusaha menghindar..

Gending gamelan jawa yang dimainkan seniman Malioboro terdengar mendayu semakin membirukan suasana. Ah, masih terlihat jelas gurat marah di wajahmu."Maaf, tapi kenapa sulit bagiku untuk meyakini kata-katamu. Entahlah, seperti ada yg berbeda, meski aku ga tau apa." lugas kau lafadzkan gerammu. Kembali kau tundukkan wajah sembari menggigit bibir menahan tangis. "Kamu berubah, itu yang aku tahu," pekikmu terbawa emosi dengan tatap yang membara tepat ke dalam mataku. Luluh aku dihadapmu dalam bingung mencari cara buktikan diri. "Lluvhia, lihat aku," pintaku memelas kasihmu. "Ini aku, berdiri di atas lututku dihadapmu jika memang percaya bukan lagi milikku paling tidak berikan aku kesempatan" sahutku terdengar sengau dalam galau.

Malam pun datang, perlahan senja lenyap ditelan adzan yang mengalun syahdu. Beberapa saat kau biarkan aku dalam resahku. Matamu menatap tajam seakan hendak mencari kesungguhan di hati. "Entahlah, kamu terlalu cepat berubah seperti arus di tengah samudera. Aku bingung, aku seperti gak kenal kamu lagi," suaramu meninggi lalu kembali menunduk dan memainkan ujung shortdress hitam yang kau kenakan. Pun aku tak dapat berkata-kata lagi. Hanya bisa menatap dalam matamu berharap kau dapat membaca kesungguhan di mataku yang sedari tadi berkaca.

Malioboro mulai riuh dalam ramai pengunjungnya namun hening yang melingkupi kita terlalu tebal hingga tak terusik sedikit pun. Perlahan kuraih dan kukecup punggung tanganmu dan kugenggam lembut jemari lalu berbisik, "Buang jauh ragumu, ini masih aku. Jangan menyerah pada asumsi negatif yang tertanam di benakmu." Kita pun kembali dalam hening. "Aku mau percaya kamu, tapi...," kau tercekat namun terasa kau membalas remasan jemariku. "Sayangkah kau padaku?" lirih kau bertanya sembari meraba kesungguhan di dadaku.

Ada lega yang menjalar sangat mendengar kau bertanya tentang sayangku padamu. Tak berperi hatiku tersenyum mengembang. Erat genggamku di jarimu coba tegaskan rasa pun dalam tatapku yang meneduh tepat di mata indahmu hingga wajah kita berhadapan berbatas tipis udara, begitu dekat hingga debar di dadamu jelas terdengar. "Lluvhia, telah kukatakan sayangku, kini berikan aku ruang dalam hidupmu agar sayangku dapat kubuktikan dalam gerak laku keseharianku." bisikku dengan penuh keyakinan.

Kilasan waktu seakan tak menentu dalam nanar pandangku yang tengah menunggu jawaban. Nampak terlihat wajahmu dalam bimbang yang entah, ada cemas di sana, antara ragu, malu dan harap. Sikapmu memaksa aku masuk ke dalam situasi yang tidak menentu. "Sungguh aku takut kehilanganmu," keluhku membathin. Lalu pandangmu menyapu, segurat senyum tulus menggurat di bibirku menyambutnya, untuk kesekian kalinya pun kau kembali tertunduk malu. "Jujur aku menyayangimu dengan seluruh akuku," datar kau buka suara. "Namun, aku takut...," ucapmu setengah berbisik. "Takut apa?" tanyaku memburu. Kau tersenyum, entah apa artinya. "Maukah kau bertukar jantung sayang, biar ku hidup dengan jantungmu dan kau berdetak dengan jant..." Belum selesai utuh kalimat yang kau ucapkan kukecup lembut bibirmu hendak tumpahkan segala rasa yang bergejolak bahagia mendengar lisanmu berkata dan kau pun membalasnya.

Waktu berhenti, aku kamu menyatu dalam rasa. Debar jantung berdegup begitu kencang saat kecupan pertama itu menyentuh senyummu mengembang. Sembilan detik berlalu aku kamu masih tenggelam dalam cinta. "Bukankah kau telah menggengam jantungku saat pertama kali kita bertemu. Tidakkah kau sadari, aku tertawan dalam kerling indah matamu sejak saat itu," bisikku yang kau balas dengan kecupan.

Malioboro begitu berbeda malam ini, berdua kita susuri indahnya, nikmati cinta kita yang kembali bersemi dalam harap dan do'a, serta tanya, akankah akan tetap begini hingga nanti zaman berhenti memberi kita waktu. Semoga Tuhan selalu menjaga aku, kamu, kita.
______________________
@ NoName - it's an amazing colaboration.

No comments:

Post a Comment