Hari ini, hari yang kesebelas di tahun ketiga milenium dua.
Mentari telah lama padam dan tugasnya digantikan oleh sang dewi yang datang dari ufuk barat negeri ini. Walau sinarnya tak seterang mentari namun cahaya yang memancar dari balik keanggunannya mampu menerangi sisi gelap bumi, laksana untaian syair dalam bait-bait puisi yang merekah di lubuk hati sang pujangga cinta.
Jam dinding berdentang tiga kali saat penaku menari menggoreskan makna, menembus ruang pengap keterpisahan, mendobrak dinding jarak yang memaksa aku untuk menekan gejolak di dalam dada ketika ku coba gapai bayangmu walau hanya dalam mimpi.
Dan apakah ini , bergemuruh bagaikan petir, menggelegar getarkan dinding hati laksana pioner yang melesat maju ke tengah arena pertempuran yang maha dasyhat, menghancurkan bangunan kebersamaan menjadi puing-puing berdebu. Lalu kudapati diri meringkuk diantara puing-puing itu, bersimpuh mengais kenangan yang tersisa, membingkai angan, memahat bayangan dan merajut jubah sepi yang menyelimuti malam-malamku yang panjang.
Inilah prosa kehidupan, skenario akbar sang pencipta tentang seorang insan yang mengambil sepi sebagai sahabat yang setia menemaninya menembus gerbang khayal dalam istana kesunyian. Istana yang dibangun oleh tangan-tangan malam di atas tanah negeri impian, berhias mutiara asa yang bertaburan di setiap sudut ruangnya.
Istana itulah yang selalu kukunjungi saat keheningan memanggil jiwaku, menjemput kesendirianku dengan kereta kencana untuk menemui sang putri pemilik istana dalam mimpi malamku. Engkaulah sang putri dalam kemegahan istana itu. Namun kunjunganku tak kan lama, laksana untaian embun yang bergelayutan saat pagi tiba, berbinar ceria menawarkan kesejukan abadi namun senyumnya hilang dalam sekejap saat jemari mentari menggenggam kehadirannya. Dia pergi namun esok pasti kan kembali.
@sabdabumi
No comments:
Post a Comment