MALAM masih jauh dari ujung. Masih panjang kisah yang dapat tergoret di dindingnya. Tapi kupastikan, namamu akan selalu ada dalam setiap kisah yang tercipta. Jangan tanya mengapa, kerna kau 'tlah tahu jawabnya. Sudah kubilang bukan? Kau cinta dalam nafasku.
Hei sayang, tapi kenapa kamu diam? Adakah sesuatu yang hendak kau katakan? Katakan apa saja padaku, pun aku akan mendengarmu.
"Tuliskan aku prosa..!" pintamu kemudian. "Tentang apa?" Aku bertanya. "Tentang rasamu untukku, dan tentang aku di semesta kita yang satu.." jawabmu manja.
Maka beginilah aku. Duduk di depan laptop tua, gerayangi tubuhnya dengan jemari yang menari merangkai aksara. Barangkali tidak cukup indah bagi mereka yang mengaku penyair. Tapi bagiku, ini adalah nyanyian hati seorang lelaki yang sedang jatuh cinta, menjadi gila kernanya; sedemikian hingga, buncah rasa meluap dari tepi cawan hati lalu terluah melalui keindahan kata-kata.
Ya, pernah kutulis tentang malam yang bercahaya dalam gelap. Kau sebut ia; kegelapan yang bercaya. Pernah juga aku berkisah tentang bintang, tentang merah di setiap sudutnya yang berpendar. Lalu kau namakan ia; bintang merah kesayanganmu. Terakhir aku bertutur tentang aurora yang menjelma dinding di langit ujung utara bumi. Tempat kita menari di bawah rinai serbuk bintang yang berkerlip serupa juta kunang-kunang yang datang di antara jeda dua hujan. Kau bilang itu indah, dan kau menikmatinya. Pun aku, sama.
Dan kali ini sayang, aku ingin bercerita tentang sebuah kota yang 'tlah kubangun untukmu. Kota yang berkerlip bagai bintang yang kau puja, berpendar serupa aurora yang kau cintai. Atilan, kota kita di bulan. Maukah kau ikut denganku? Maka kenakan gaun merahmu sayang, malam ini kita berkunjung ke sana.
Perjalanan menuju Atilan, akan kita tempuh dengan kendara pawana, dari juta rindu punya kita. Bertolak dari altar puja yang di dasarnya bertahta namamu. Mihrab kecil tempatku mengeja sosokmu dalam isak do'a saat bermanja dengan sang kekasih. Jangan takut sayang, sesayapku cukup kuat untuk menopang kita. Peluk saja aku dan bersenandunglah, nyanyikan lagu: lagu rindu saat cinta memerah muda di langit kita.
Lihatlah sayang, jika telah nampak dalam pandangmu, tujuh puluh makhluq langit yang rupawan berbaris membentuk setapak, maka kita telah sampai. Kembangkan senyummu, dan biarkan mereka mengalungkan rangkai bunga abadi di lehermu. Tidakkah kau dengar? sorak sorai penduduknya menyambut kau datang. Usah bertanya mengapa. Lupakah? Kau ratu semesta. Perayaan hadirmu tentu bukan hal yang aneh bukan? Nikmati saja, sesap hingar bingarnya hingga ke setiap inchi tulang darahmu. Kerna kau pantas, sebab kau layak menerima itu.
Sayang, beritahu aku jika kau hendak pulang. Nikmati waktumu di sini, tanpa ada yang kan mengganggu. Ini duniaku yang 'tlah kuberikan untukmu. Saat kembali nanti kita singgah di bintang merah. Ambil sekantong serbuk bintang dan debu angkasa untuk kau bawa pulang. Agar malam yang kau lewati selalu saja menyimpan cahaya dalam gelapnya.
Selamat malam sayang, demikian prosa untukmu. Terangkai dari hati yang berlumur madu, semanis kasih yang kau simpan di dada kiri: untukku.
Tolitoli - 2011
ZAIN AL AHMAD
No comments:
Post a Comment