March 10, 2010

Elegi Cinta Seorang Psikopat

Entah sudah kali keberapa aku berdiri di rindang dedaun batang Akasia tua yang tumbuh di seberang jalan sebelah selatan berandamu ini hanya untuk melihat wajahmu saat membuka jendela di pagi hari tanpa makeup polos apa adanya. Selalu begitu saat rindu membuncah pada setiap helai jiwa selapis demi selapis hingga seluruh.

Seperti pagi ini, daun kering yang kupijak masih basah oleh hujan semalam pun bau lembab aspal menyengat lembut di hidungku yang baru saja ditetesi embun yang jatuh dari ranting berdaun satu menjulur di atas kepalaku. Aku di sini sejak gema azan subuh menghilang dari udara yang kuhirup dan dibawa angin entah kemana. Tidak seperti kemarin, sengaja aku datang pagi pagi dengan ransel di punggung berisi kamera digital bekas yang kubeli dari seorang teman dua hari yang lalu berharap kau lekas nampak di diafraghma kotak gambar yang kini tengah menutupi wajahku itu.

Akh, semakin tersenggal nafasku pun detak jantung dan ketuk jam di tangan kananku yang gemetar jelas terdengar. Lalu lalang kendaraan berseliweran namun tak mampu mengusik suara hening di kepala. Ada setetes keringat dari sudut kening yang terbiar enggan kuseka khawatir kehilangan detik hadirmu.

Setelah hening kini telingaku mendengar suara musik semacam simphony Mozart yang tengah berkolaborasi dengan Bethoveen indah melagu dan tepat di chorus ke dua kau muncul di jendela itu. Aih wajahmu polos tepat seperti yang kulihat di setiap mimpi malamku yang tak pernah kulewati dengan tidur pun lembut angin membuat helai rambutmu yang tergerai melambai jelita hampir seperti cantiknya sawah hijau yang membentang di kaki gunung Bantimurung yang pernah kulihat saat melintasi selatan Sulawesi namun ini lebih indah lagi. Telunjukku lincah mengambil gambarmu seperti Slash Snakepit yang garang menggelitik perut gitarnya saat mengiringi Axl Rose bernyanyi sampai akhirnya kau menatap mataku yang bersembunyi di balik lensa dan mengetahui keberadaanku. Tidak kudapati ketakutan sedikit pun di tatapmu malah ada sungging senyum tipis di bibirmu. Aku tergetar, keringat semakin deras mengucur dan tulang sendi kaki kaki hampir tak mampu lagi menopangku untuk berdiri tegak. Tak kuasa berlama-lama di sini hanya ingin berlari sekencangnya, berlari mengejar angin terus berlari menuju rumah.

Nafas masih memburu seperti badai yang belum mereda dan nanar mataku mencari kabel USB terburu menyalakan laptop serta mesin pencetak selekasnya untuk menyambungkan kamera ini lalu mencetak gambarmu.

Sejam kemudian dindingku penuh dengan gambar. Ada gambar wajahmu dengan senyum yang menatap tepat di mataku. Wajah yang selalu menghiasi malamku dalam rindu yang terlalu dan kini wajah itu akan menjadi saksi seluruh mimpi tujuan hidupku sejak tiga tahun terakhir ini mewujud. Mimpi yang tidak akan pernah kau pahami. Aku hanya ingin mati dihadapmu. Tahukah kau?

Dan dengarlah lirih kubisikkan namamu. Selamat tinggal Safira.

Tolitoli, Maret 2010

No comments:

Post a Comment