March 1, 2010

Tepian Rindu

LANGGAM cinta mendayu terbawa hilir angin lereng bukit barat yang melantun syahdu di pucukpucuk akasia kering setelah lelah meranggas di penghujung kemarau yang panas. Celah resah terusik karenanya pun geliat gundah sontak mencabik kantung rindu yang sejak lama bertudung sepi nan kelam. Matahari tertawa girang melihat merah kulit darahku yang tengah terbakar rindu atau mungkin geli melihat laku naif lelaki nista ini.
Dia yang telah lama pergi kini wujud berhadap raga meminta cinta yang pernah dijanjikan.
Akh, desir darah menderu haru dalam rengkuh rayu menggebu saat nafas nafsu masa lalu sigap mendekap jiwa rapuh milik aku kamu, pun akal terlampau lelah menghalau buncah rasa yang meletup dashyat laksana Merapi-Merbabu yang menumpuk tabu.
"Kuingin terjun bebas di palung hatimu tanpa kasut dan parasut pun tiada tali temali. Sadar kuterjatuh tanpa dibayangi rasa takut terluka seperti dulu saat aku tinggalkanmu. Ini aku hanya ingin tenggelam di dalammu hingga tandas." Itu katamu, coba ikat aku dalam penjara cinta yang sengaja kau bangun di sela puing remuk remah hatiku.
Lalu aksara andai pamer pandai terus menggoda hasrat hingga ke batas lamun. Andai kau tak menghilang, andai kau cepat kembali, andai malam itu kau di sampingku, andai, Ukh, sudahlah hentikan saja, cukup! Bawa pulang angan itu ke asalnya, pergi hilang hingga ke tepian rindu yang tersemat di titik terjauh petala langit bumi dan kenakan padanya tujuh jubah hitam bayang malam agar tatapku tak dapat lagi menangkap sosokmu.
Merendam perih di kubangan haru,
aku tersungkur
: biar.
Tiada tempat di sini,
cinta purba
: musnah.

Pulanglah!

@sabdabumi
Watampone, Maret 2010

*gambar : http://sidiqtriw.blog.com/

No comments:

Post a Comment